Sekali lagi cinta menimbulkan gejolak hati yang tiba-tiba
datang dengan perasaan yang tak di duga setelah beberapa bulan kejadian hari
ulang tahun Laura. Gue mulai merasakan cinta berkata lain setelah melihat
tingkah laura yang sepertinya bersikap sangat protective, dia selalu cemburu
jika gue sedang dengan wanita walaupun hanya sebatas teman.
“Kamu kenapa sayang?” Tanya gue, sejak di sekolah sampai
pulang sekolah Laura hanya diam.
“Jadinya kita mau jalan kemana?” Gue kembali bertanya.
Laura menoleh ke arah gue dan menjawab “terserah kamu aja”
“Kamu marah?” gue mulai panik melihat sikap dingin Laura
Hari ini terasa menyebalkan yang biasanya gue bisa melihat
senyuman Laura tapi kali ini gue gak bisa melihat senyumannya. Keesokan harinya
Laura tetap saja bersikap dingin ke gue. Gue merindukan Laura yang dulu. Semua
hal tentang Laura. Tentang Laura yang selalu memberikan senyuman manisnya buat
gue. Tentang Laura yang selalu mencubit lengan gue ketika gue sedang melucu
dihadapannya. Dan tentang Laura yang selalu memberi perhatian dan memperlakukan
gue seperti orang yang sangat berharga. Gue mengambil handphone dan mencoba
menghubungi Laura. Ingin sekali gue mendengar suaranya, namun gue mengurungkan
niat untuk menghubungi Laura, gue lebih memilih mengirim sms ke Laura agar
punya waktu untuk berfikir menyusun kata-kata, gue coba mengajak dia bertemu di
sebuah café favorit yang biasa kita singgahi.
Lalu kita berdua sepakat bertemu di sebuah café, dan
akhirnya gue bisa melihat wajah Laura lagi. Laura duduk dan terus menundukan
kepala. Gue duduk di depan Laura sambil terus memandangi wajahnya.
“Sayang, aku minta maaf" gue memulai percakapan.
“Untuk apa?” jawab Laura dengan datar.
“Yah aku minta maaf mungkin aku udah buat kamu kesal”
Laura tidak menjawab kata-kata gue.
“Kalau begitu maafin aku, aku nggak bisa ngelanjutin
hubungan ini” Ucap gue terasa berat mengungkapan perasaan ini.
Laura terkejut mendengar kata-kata gue.
“Memangnya kenapa? Kenapa kamu ngomong seperti itu?”
“Maaf Laura mungkin ini jalan terbaik buat kita, kamu nggak
ngerti keadaan aku dan kamu nggak ngerti perasaan aku sekarang tapi aku masih
sayang sama kamu walaupun hanya sebatas teman” gue coba meyakinkan laura, hati
gue menangis dan tidak kuasa menahan rasa ini. Ingin sekali gue berbicara "Maafkan aku kalau harus begini caranya melepasmu, tapi hati aku sudah nggak nyaman kalau kamu bersikap seperti ini".
“Yaudah kalau itu mau kamu, aku terima” Laura menghentakan
kakinya dan berdiri lalu pergi meninggalkan gue yang hanya bisa terdiam
memandangi dirinya.
Semua ini memang tidak mudah buat gue, mungkin ini fase
percintaan paling berat yang selalu menimpa semua pasangan. Hari demi hari
jarak diantara kita semakin jauh. Sekarang gue nggak bisa melihat wajah Laura
lagi kapanpun gue mau.
Ketika istirahat sekolah, gue dan Laura pernah saling
berpapasan, tapi Laura sama sekali tidak menoleh ke arah gue. Pada waktu Laura
sedang duduk sendiri di kantin, gue coba berjalan menghampiri Laura.
“Boleh minta waktunya sebentar?” Tanya gue.
Laura menganggukan kepalanya.
“Ada apa?”
“Laura, boleh aku minta sesuatu sama kamu?”
“Apa?”
“Kalau kamu masih marah sama aku, tolong maafin aku?” gue
memohon kepada Laura sambil menatap wajahnya.
“Maksud kamu apa?” Laura tidak mengerti apa maksud dari
perkataan gue, atau dia pura-pura tidak mengerti.
“Aku tahu kamu masih marah sama aku, tapi kita bisa kan menjadi
teman atau sahabat?”
Laura terdiam, lalu mengalihkan pandangannya yang sedari
tadi menunduk dan menatap ke arah gue.
“Iya aku ngerti maksud kamu. Iya aku maafin kamu, aku ngerti
Al semua di dunia ini pasti akan indah pada waktunya begitupun dengan cinta
tapi kalau hati berkata lain mau bagaimana lagi” Akhirnya Laura kembali
tersenyum dengan senyuman khasnya pertanda dia sudah memaafkan gue.
Sekarang gue lega Laura bisa mengerti apa yang gue rasakan.
Cinta membutuhkan ketulusan hati, bila sudah merasa tidak nyaman maka
lepaskanlah, karena kenyamanan dalam suatu hubungan adalah kunci agar hubungan
selalu harmonis, kita juga tidak bisa berkehendak dengan hati kita biarkan hati
yang menjawabnya.
(The End)
0 komentar:
Posting Komentar